Setiap manusia adalah pribadi istimewa, manusia dilahirkan dengan kekurangan dan kelebihan dalam genggaman setiap manusia itu tersimpan sebuah kekuatan besar
***
Aku mencoba memposisikan diriku sebagai cewek manja yang wajahnya tak mau enyah dari otakku. Betapa menjengkelkannya Gadis manis itu, tak mau pergi dari pikiranku, seenaknya merusak konsentrasiku. Baiklah harus kuakui, akulah yang menyiksa diri dengan terus-menerus membiarkannya berada dalam imajinasiku!
Apapun yang orang pikirkan, walau terdengar berlebihan, tapi aku seolah merasakan kekhawatirannya. Gadis begitu dekat dengan papanya, dan pasti akan ada perasaan tak nyaman berkaitan dengan peristiwa naas yang terjadi pada papanya walau secara sadar tak di ketahuinya, tapi aku yakin pasti ada koneksi hati diantara keduanya.
Dalam benakku aku seolah bisa melihatnya berdiri di balkon kamarnya menatap langit malam, mengutuk rasa khawatir. Seharian aku menonaktifkan handphone pak Adrian, sengaja agar dia tak bisa menghubungiku, tapi sekarang aku seperti melihatnya menangis di sana, jadi aku mengirimkan sebuah pesan singkat, setidaknya membuatnya tenang.
Papa menyayangimu dari jauh
Hanya mengirimkan pesan singkat itu dan mengabaikan yang lainnya lalu mematikan handphone canggih itu.
***
Sesungguhnya aku percaya koneksi hati itu ada, jangankan antara Gadis dan Papanya, bahkan antara aku dan Ibu Lestari hubungan itu terasa sangat kuat, kontak batin diantara kami begitu kuatnya, saat beliau akan pergi, aku merasakan bahwa seperti ada yang hilang dari hatiku, walau telah tiga musim tak pernah lagi melewati waktu bersama beliau, selalu begini, meneteskan air mata kala mengingatnya.
Tak ingin terlihat seperti bocah cengeng, aku menhapus air mataku segera, kembali meraih buku bersampul kulit cokelat itu, dan melanjutkan kisah yang ditorehkannya di sana…
Lima Puluh Tahun Yang Lalu…
Bayi mungil itu terlahir ke muka bumi, bukan membawa harapan, tapi beban baru. Itulah aku, konon katanya bahkan ketika aku dilahirkan, ayahku tak mendapingi ibuku, beliau entah dimana tergolek frustasi karena judi, hutang dan miuman keras. Bisa dibayangkan bahwa hari itu takdirku sudah terbaca.
Aku melewati masa kanak-kanakku dengan kepolosan hati anak kecil, tak pernah tau luka itu apa. Ibuku tang ingin anak-anaknya mengetahui sakitnya kepedihan, selalu ada saja hal yang beliau lakukan hanya untuk membuat kami merasa sama seperti anak-anak dari keluarga lain.
Aku sama sekali tak tahu, bahwa bubur dengan santan, garam dan sedikit saledri-bawang goreng dalam mangkuk-mangkuk plastik kecil itu berarti persedian beras kami habis dan tak ada lauk, tapi kami anak-anak kecil selalu lahap dan merasa bahwa itu adalah menu spesial hari itu. Atau ketika kami akan diasyikkan dengan nyanyian di tengah malam gelap karena malam itu ayah tak pulang dan ibu terlalu ketakutan. Juga…yang tak pernah bisa kulupakan, dongeng-dongeng pengantar tidur itu, dongeng dengan putri bergaun cantik, pangeran, peri, keajaiban, cinta, sebuah kehidupan sempurna, kehidupan yang ingin kujalani nantinya kelak kudewasa.
Masa kanak-kanakku indah dengan berbagai kebohongan yang ibu ciptakan, semata-mata karena dia ingin menyelamatkan jiwa-jiwa anaknya yang masih tak tersentuh dosa. Kebohogan, bagaimana satu persatu saudaraku hilang, yang ternyata ayahku tukarkan pada lembaran-lembaran rupiah, aku ingat ketika kakakku diajak berpakaian rapi dan bersepatu, rambutnya disisir ke belakang, senyum mengembang diwajah tampannya, hari itu sebatang cokelat ada di tangannya, sebelum berangkat dia membagiku separuh, dan separuhnya lagi buat adik bayiku yang dia tau adik kami itu bahkan belum bisa memakan apapun selain minum ASI, hari itu dia terlihat bahagia, tapi ibuku menangis sepanjang hari.
Selanjutnya di lain-lain hari saudara-saudaraku yang lain, yang memang terlahir sebagai laki-laki, terjual satu persatu dengan berbagai cara, aku mulai menyadarinya setelah aku agak besar, sekitar Sembilan atau sepuluh tahun, ada yang dibawa saat bayi merah, ketika balita, dan bahkan sebelum dilahirkan ada yang telah membayarnya.
Tragis, diujung kesedihan ibu kehilangan buah hatinya, ibu memilih menyerah, berhenti untuk menderita, ibuku pergi ke surga hari itu bersama adik bungsuku yang baru saja dilahirkannya, sayang siang itu sepulang sekolah, tak ada siapa-siapa di sana, ibuku menderita saat proses persalinannya tiba, karena apa? Karena aku hanya gadis kecil yang tau apa-apa! Karena ayahku tak punya moral dan tanggung jawab! Karena tak ada rupiah bahkan untuk mengupah dukun beranak! Aku masih ingat jelas perjuangannya yang berakhir naas, saat beliau akhirnya meregang nyawa, wajahnya tanpa menderita garis-garis bekas air mata di wajah kurusnya tergambar jelas, hingga kini ekspresi wajah itu terukir tegas dalam ingatanku.
Dan sejak hari itu kusadari bahwa dogeng itu tak ada, hanya realita yang terlalu kejam untuk dijalani manusia.
Kupikir giliranku takkan pernah datang, usiaku enam belas tahun kala aku juga bernasib sama seperti saudara-saudara lelakiku. Aku berharap aku menemukan sebuah keluarga, seperti yang dialami adik lelakiku yang terkecil, sepasang warga asing yang terlihat bahagia melihat bayi kecil dalam pelukannya, atau seperti pria berpenampilan rapi yang datang menjemput saudaraku lainnya dengan mobil bagus. Kupikir dan kupikir tapi ternyata tak begitu.
Membayangkan seperti dalam kisah Cinderella, aku dibawa ke sana, memang bukan dengan kereta kuda indah tapi dengan mobil mewah. Gauku tidak megah dan terseret indah di lantai dansa, aku masih mengingat gaunku dulu, berwarna merah menyala, dan terbuka dibagian belakangnya, gaun itu membuatku khawatir bila aku sampai masuk angin, sementara sepatunya membuatku jatuh berkali-kali kakiku lecet dan sakit sekali.
Pagerannya ada di sana, dan ayaku yang meyerahkanku pada sang pangeran, tapi bodohnya aku, tak pernah terlintas di otak polosku bahwa malam itu nasibku sama seperti saudara-saudaraku lainnya. Gadis polos nan bodoh itu tak mengerti bahwa diriku telah dibeli, sayangnya aku jatuh cita pada pandangan pertama pada pangeran tampan yang memang sangat mempesona.
Pangeran mengajakku berdansa, dan membawaku di istananya dia memperlakukanku memang seperti putri raja. Tapi…sayangnya cintaku padanya tak seperti cintanya padaku, cintaku yang dari hati tapi cintanya hanya dari nafsu, dengan berat hati kukatakan aku adalah pelacur peliharaannya, yang tinggal dalam segala fasilitas mewahnya, tapi percuma tak ada cinta. Aku memang menyadari dia membuatku jatuh cinta, mempermainkanku dengan rayuannya, caraya indah memang begitu indah, tapi sampai kapanpun juga tahta dihatinya tak pernah benar-benar bisa kumiliki.
Ada malam-malam melelahkan saat aku menjadi budak nafsunya, tapi setelah itu aku bagai ibunya yang memberi dekapan hangat, tempatnya menangisi rasa yang tak pernah menyinggapi hatinya, hatinya yang tak percaya pada cinta, sesungguhnya dia adalah manusia yang benar-benar menderita, dan sayangnya seberapapun kuatnya aku mengajari tentang cinta, dia malah memilih yang sebaliknya, menderita dalam rasa yang menyiksa, hidup tanpa cinta sungguh tak terbayang rasanya.
Aku menutup halaman itu, tak ingin melanjutkan lebih banyak, aku tak ingin kemarahanku memuncak, aku tak menyangka bahwa jalan hidupnya begitu memilukan, seandainya aku bisa berada di masa lampau untuk menyelamatkan hidupnya…
Kupikir sekali lagi, bagaimana bisa aku mengubah masa lalu yang telah terlewati, tak ada satu orangpun yang bisa mengubahnya, lagipula siapa aku, apa yang bisa diandalkan dari pemuda semacamku? Kenaifanku? Ketololanku? Aku membenamkan kepalaku dan kembali berusaha mencegah lagi sakit hati dan kebencian kala mengingat deritanya, dan aku tau beliau ada di sana saat aku merasakan sebuah sentuhan lembut menyapukan jari-jarinya di rambutku, dan nasehat bijaknya membelai telingaku untuk menenangkanku atas kemarahan, bukan pada orang-orang yang menyakitinya tapi lebih pada diriku yang tak berguna.
“Setiap manusia adalah pribadi istimewa, manusia dilahirkan dengan kekurangan dan kelebihan dalam genggaman setiap manusia itu tersimpan sebuah kekuatan besar” .