Elisabeth Mayz (Kumpulan Puisi)
Sepi …. hening
dalam gelap dan udara malam yang dingin
berhembus angin yang berbisik suara-suara daun kering,
terserak dan berguguran di atas tanah yang berdebu.
Musim kemarau ini belum terlalu lama kulewati,
masih kujelang gamang dan malam-malam dingin
di bawah taburan bintang-bintang di langit yang angkuh dan beku.
Malam ini aku kembali beranjak sendiri meniti jalanan
di tepian kota kecil, bersama deretan
lentera-lentera yang bernyala redup.
Dalam udara yang dingin membeku,
setitik cahaya lentera yang kecil melawan gelap malam yang besar,
menyingkapkan sudut-sudut malam, kemudian membayang seperti
sebuah lukisan romantik kehidupan manusia yang sepi dan terasing
dalam bentang malam yang gelap.
Kujelang lentera di akhir malam berderet
sepanjang tepi jalanan kota ini.
Pejalan yang kecil dan asing ini menyapamu
Lewat setapak demi setapak langkah kaki yang beranjak sepi.
Lentera akhir malam …. tetaplah dalam kelipmu yang kecil
agar setiap pejalan yang melintasi jalanan ini
mengingat kelip kecilmu melawan gelap malam yang besar,
seperti kesetiaanmu untuk tidak menjadi bintang yang tinggi
dan cahaya terang yang sombong.
Walau dalam gelap dan cahaya yang redup,
pejalan ini harus terus melangkah, meski dia tahu
gelap gulita akan membayang kepada hidup
yang harus dilanjutkanya.
Pejalan ini beranjak bukan hanya untuk satu kisah setia,
tapi untuk terus mencari ketulusan dan kecintaan,
walaupun dalam keremangan senja dan kegamangan malam
atau dalam pagi yang masih sepi.
Lentera akhir malam,
kutatap lagi kelip kecilmu tersenyum dan berkata padaku;
“Wahai sahabat kecil, tetaplah berjalan mencintai takdirmu,
teruslah mencintai hidup walau mungkin engkau akan terasing dan dikatakan jalang”.