Yg mengirim cerita:
• elindasari
Special thanks to:
• God
• Mom, Dad
• Elindasari
• All member
Kumpulan Puisi
_____________________________
Sepenggal Cerita di Gubuk Reot
Matahari telah tenggelam beberapa jam yang lalu. Hari telah gelap, hanya seberkas cahaya lampu pijar 5 watt yang masih menyala di sudut gubuk ini. Nyamuk mulai berkejaran kesana kemari mencari pendonor. Namun mata Yanto masih enggan di ajak pergi ke peraduan malam.
“Mak, Yanto lapar mak !”, rengek yanto kecil yang sedang duduk di balei-balei sebelah ibunya, sambil mengayunkan kakinya pelan ke depan dan ke belakang dengan irama yang sedikit gontai. Namun, perempuan tengah baya itu hanya bisa menatap dengan lembut anaknya yang merenggek. Sebenarnya hati kecil perempuan tengah baya itu rasanya teriris-iris mendengar renggekan putanya ini.
Terpapar jelas di depan matanya, kondisi gubuk yang ditempatinya bersama anak semata wayangnya ini. Kondisi gubuknya ini sangat reot dan siap digusur kapan saja oleh aparat keamanan kota. Hem, semakin miris hati perempuan tengah baya ini.
Sekarang di gubuk reot inipun, tidak ada sama sekali makanan yang masih tersisa.
Hanya ada air putih yang masih ada di botol bekas minuman ringan yang berada diatas meja tua mereka.
Lalu, perlahan diraihnya botol itu dan di ulurkannya ke mulut anaknya yang telah, yang sedari tadi merengek karena lapar. Yanto kecil meneguk beberapa kali air dari botol itu, dia berusaha menghilangkan rasa lapar dengan meminum air tersebut.
Yanto kecil mulai menatap wajah emaknya dengan penuh rasa sayang. Bocah kecil yang telah berusia 9 tahun itu, seakan ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sangat dalam pada ibunya. Lalu, tangan mungilnya mulai meraih keatas, mengusap air mata bening yang keluar dari kelopak mata emaknya.
“Mak, kenapa emak menangis”, tanya Yanto dengan suara pelan.
Perempuan tengah baya itu hanya dapat menghela nafas panjang. Perempuan tengah baya itu berpikir bahwa dirinya tidak mungkin menjelaskan apa yang sedang dipikirkannya kepada anak sekecil Yanto.
Ini tentang beban hidupnya yang sangat berat, bahkan makin berat dari hari kehari. Meskipun perempuan tengah baya ini selalu berusaha tegar terhadap semua keterbatasan yang dia miliki, tapi dirinya tak bisa memungkiri kalau terkadang dirinya terkadang merasa kalah. Kalah karena selalu harus melawan nasib dan keadaan terjepit dan terhimpit ditengah realita yang sangat memilukan hatinya. Perempuan tengah baya ini hanya bisa menjerit kencang dalam hati. Tetap berjuang untuk bertahan hidup dari hari ke hari, dengan sejuta keterbatasan.
Tapi, lagi-lagi, dirinya tak akan mampu berucap yang sebenarnya. Dirinya selalu hanya mampu berucap, “Ndak apa-apa kok sayang, kita bobok saja, yach !”, ujar wanita tengah baya ini dengan lembut seakan ingin menciptakan ketentraman di hati anaknya yang masih belia.
Yanto kecil kali ini menatap lebih dalam ke arah mata emaknya. Dirinya berusaha keras mencoba mencari tahu alasan mengapa ibunya menangis.
“Mak, Yanto tahu mengapa emak selalu meneteskan airmata”. Yanto tahu, emak tidak benar-benar menangiskan ?”. “Emak, hanya meneteskan airmatakan mak !’, ujarnya lagi seakan ingin menegaskan bahwa emaknya bukan wanita yang cenggeng.
Perempuan tengah baya itu mulai tersenyum lebar, meskipun sebenarnya hatinya masih ciut akan ucapan anaknya yang masih belia, namun cukup pintar menerka isi hati dan pikirannya.
“Tidak Yanto, emak tidak menangis, emak meneteskan air mata emak karena emak sangat sayang sama Yanto”, ujar perempuan tengah baya ini sambil mulai merangkul tubuh kecil Yanto.
“Mak, Yanto tahu, kalau emak sering sedih karena kita orang miskin yach mak”, celetuk Yanto kecil polos yang membuat emaknya sedikit tersentak.
“Mak, Yanto, tahu semua keterbatasan mak”.
“Tapi, Yanto juga sadar dan tahu , kalau mak selalu berusaha untuk mencukupi segala kebutuhan kita”.
“Mak menerima upahan mencuci dari rumah ke rumah”.
“Malah mak, masih mengumpulkan sisa-sisa sampah untuk dijual lagi”.
“Mak, Yanto tahu, mak melakukan itu semua agar kita bisa makan”, Yanto kecil itu terus berceloteh untuk membuat emaknya senang dan bangga akan kerja kerasnya.
“Mak, Yanto sangat sayang sama emak, Yanto bangga sekali sama emak”, ujar Yanto kecil kali ini dengan matanya yang berbinar.
Mendengar penuturan anak semata wayangnya, yang selalu dianggapnya masih terlalu kecil untuk semua yang mereka alami ini, wajah perempuan tengah baya ini sekan memerah karena bahagia. Seakan kepedihan dan kelelahan bathinnya selama ini terbang lepas dan bebas ke angkasa. Menerobos atap gubuk mereka yang memang tak rapat ditutup seng bekas yang banyak lubang.
Lalu, dengan perlahan diusapnya rambut putra semata wayangnya itu, sambil berucap,
“Tapi mak tidak bisa menyekolahkanmu anakku !”. Kali ini suara perempuan tengah baya ini mulai parau.
“Makku sayang !”, ujar Yanto sambil bangkit dari balei-balei tempat mereka duduk yang merangkap tempat tidur. Lalu, bak lelaki dewasa diletakkan kedua tangannya di pangkuan maknya seakan ingin memberikan kekuatannya kepada orang yang paling dicintainya itu.
“Mak, emak memang tidak bisa menyekolahkanku, tetapi setiap malam mak sudah mengajariku membaca dari kertas koran bekas yang kita kumpulkan, mak juga mengajariku berhitung dari sapu lidi kita, mengajariku sholat, mengajariku mengaji”.
“Mak, meski Yatno masih kecil, Yanto tahu kalau Yanto semakin hari, semakin mengerti tentang kehidupan, bahkan mungkin jauh lebih banyak dari teman-teman sebaya Yanto”, jawab sang anak tulus dan bangga.
“Meski mak, tak mampu menyekolahkanku, aku tetap bangga jadi anak emak”, ujar Yanto kecil dengan tegar. “Sungguh mak”, ulang Yanto ingin menyakinkan emaknya lagi agar tidak bersedih lagi.
“Hem, kalau saja emak mampu menyekolahkanmu di SD paling murah yang berada di ujung jalan, yach nak, mungkin kamu nanti bisa punya ijasah melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi dan masa depanmu akan lebih baik, dan emak yakin kalau anak emak adalah anak yang pintar”, sang emak mencoba menjawab sambil tertunduk seakan merasa telah mengeluh terlalu dalam kepada anaknya.
Tapi, Yanto kecil membalasnya dengan tersenyum sangat manis. Dipijatnya kaki wanita didepannya. Seorang wanita cantik sebenarnya, tetapi nampak lebih tua dari umurnya yang sebenarnya. Apalagi dia harus hidup sendiri sepeninggal suaminya sejak beberapa tahun silam.
“Mak, semua yang emak bisa lakukan, sudah emak berikan kepadaku”. “Emak telah memberikan yang terbaik untuk kehidupanku”. “Aku bersyukur karena mendapatkan limpahan kasih sayang yang tiada tara, mak”.
“Emak selalu mengajariku semua yang seharusnya aku tahu”. “Emak, selalu berada disampingku pada saat aku membutuhkan”.
“Mak, tidak boleh bersedih lagi, aku, Yanto anak emak hanya ingin mendapatkan cinta yang aku rasakan selama ini”. “Aku hanya ingin hidup disamping emak, karena aku selalu mendapatkan limpahan kasih sayang yang selama ini aku butuhkan, mak”.
Sambil mendekatkan wajahnya yang sedikit pucat karena lapar, Yanto kecil tetap berujar, “Mak, katanya mencintai tak harus sama, ketulusan untuk mewujudkan cinta jauh lebih
penting dari sekedar menyamakannya dengan kehidupan orang lain”, itu yang pernah aku baca dari Koran bekas beberapa hari lalu mak.
“Betul, mak aku malah masih menyimpan lembaran korannya lho mak”, ujar Yanto mencoba menghibur dan mengalihkan kesedihan emaknya dengan mengopy-paste kalimat dari sebuah artikel dikoran yang pernah dibacanya”. (Sungguh anak yang pintar dan cerdas sesungguhnya !).
Hem, perempuan tengah baya itu tak mampu lagi menyembunyikan kekaguman pada anak semata wayangnya yang cukup encer otak dan pemikirannya itu. Lalu, dipeluknya putra kesayangannya itu dengan penuh kasih sayang.
“Yuk, kita bobok yuk sayang, besok kita harus bangun lebih pagi, karena kita harus berangkat setelah sholat subuh, kan cucian di rumah Pak Hadi sudah menunggu kita”, ujar perempuan itu mengakhiri bincang-bincangnya dengan anaknya sedari tadi.
Lalu, Yanto kecil dan emaknya menarik selimut usangnya sampai ke dada. Perempuan tengah baya itu, masih tetap membiarkan sisa tetesan airmata mereka sengaja mengering oleh angina malam yang menemani tidur malam mereka.
Tetapi kali ini bukan karena kesedihan meratapi nasib, tapi justru untuk menikmati hikmah dan mengucap syukur yang teramat dalam kepada-NYA. Karena Tuhan telah memberikannya permata hati yang sangat menyayanginya dan sangat mengerti keadaan kehidupan mereka, sehingga dirinya mampu untuk terus berjuang, mendampingi putranya, membesarkannya dan memperkuat hidupnya. Semoga kehidupan mereka tetap bahagia meski dalam konteks yang berbeda.
Semoga cerita tersebut bisa bermanfa’at dan memberi inspirasi.