"Nih buat kamu"Kemudian aku pun lari sekencang kencangnya, tidak perduli tatapan kebingungan dari matanya. Terus lari sambil sesekali menengok kebelakang untuk tahu seperti apa reaksi dari dia selanjutnya. Dia sedang membaca selembar kertas yang baru saja aku taruh secara paksa di tangannya. Aku tersenyum, tapi cuma sebentar lantaran betisku yang kencang menyenggol ban gerobak abang tukang bakso. Aku mengaduh, abang tukang bakso misuh misuh lalu kembali lari takut di guyur kuah bakso yang mendidih itu. Kemudian kembali lagi kutengok dia, sudah selesai membaca kertas itu, tersenyum mendongakkan kepalanya mencariku. Lalu dia tiba tiba berlari kearahku bermaksud mengejarku. Aku kaget, grogi, malu tapi mau, tapi kupilih mempercepat kaki kaki melangkah.
Berlari, melewati ibu ibu yang sedang ngerumpi, balapan sama anak kecil yang riang gembira duduk di kursi sebuah odang odong.
Dia terus mengejarku, rambutnya berlarian menuruni lehernya yang jenjang lalu naik lagi tersentak hentakan kakinya yang berlarian.
Harusnya aku senang, sebab sudah lama aku menaruh hati padanya dan sekarang dia mengejar ngejarku. Ingin berkata kata denganku. Tapi yang ada malah jadi begini. Aku malu. Malu tapi mau, ah pusing.
Jadi aku terus berlari dikejar kejar olehnya. Berkelok kelok menyusuri jalan komplek perumahan, sampai aku terhenti di sebuah jalan buntu.
Aku heran setahuku tidak ada jalan yang buntu, kenapa sekarang ada. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu, karena sekarang dia sudah berada sejengkal di belakangku, lalu segera berdiri di depanku. Sambil mengatur nafas dia tersenyum.
"Ini maksudnya apa"Selembar kertas yang tadi kuberi segera di sodorkan kepadaku. Bias merah seketika membasuh mukaku. Tapi kubiarkan saja tangannya menggantung, tidak kuterima kertas itu.
"Itu puisi buat kamu"Aku memang menulis puisi di kertas itu, karena kata orang puisi adalah wujud terindah dari kata kata. Maka kubuatkan puisi untuknya, puisi puisian tidak tahu bagus atau tidak. "Gimana, kamu suka?"
Dia tertawa kecil hingga kelihatan gigi giginya yang putih.
"Kamu lucu yah"Aku.Lucu, ah engga juga tapi oleh cewek secantik dia aku rela dibilang apa saja. Sungguh.
"Tapi beneran ini puisi buat aku?" Katanya lagi.
"Emang kenapa"
"Nih, baca aja"Kali ini kertas itu kuambil, kubuka lipatannya dan kubaca.
Beras 1 liter
Minyak goreng 1 liter
Cabe merah 1/2 kilo
Telor 1/4 kilo
Sabun mandi 1
Sikat gigi 1Tidak bisa kubayangkan bagaimana rona mukaku waktu itu. Malu, tapi masih mau.
Kuraba saku celana sebelah kanan , disitu masih tersimpan kertas yang seharusnya kuberikan padanya tadi. Bukan daftar belanjaan yang kutaruh di saku celana sebelah kiri. Argghh!!
Sial!!
Kesan pertama ternyata sama sekali tidak menggoda.
Tapi kulihat dia masih tertawa, sedikit mengurangi rasa maluku.
"Sory tadi salah ngasih, harusnya yang ini"
Tangan kananku mengorek kantong celana sebelah kanan, mengambil selembar kertas yang benar, lalu kuserahkan padanya.
Dia menggelengkan kepalanya."Aku mau kamu yang bacain"
Mampus!!
Menyerahkan puisi saja sudah membuatku panas dingin, sekarang malah disuruh baca di depannya.
Tapi, sudah terlanjur basah ya sudah keramas sekalian.
Begitulah kira kira pepatah lama mengatakan.
Aku pun berdiri tegap, lalu menekuk kaki kananku, sedangkan dengkul kaki kiriku merebah di tanah. Selayak pangeran ingin melamar tuan putri raja.
Kutarik nafas panjang dan dalam, berusaha menghayati puisi yang akan kubacakan.
hai, kau gadis rupawan
aku hanya ingin bertanya
apa kau tidak merasa risih,
setiap hari mengoleskan madu di bibirmu
lantas membuat orang mengerjap ngerjap kemanisan
apa kau tidak merasa kasihan?
apa kau tidak merasa lelah
menggelayutkan gelap malam di helai rambutmu
lalu mencuri kelip bintang untuk kau tenggelamkan dimatamu
apa kau tidak merasa bersalah?
hai kau gadis rupawan
sekali lagi aku ingin bertanya
apa kau tidak merasa keberatan
jika kukatakan,
maukah kau menjadi kekasihku?Angin berhembus membawa debu debu dan menggaungkan teriakan anak anak kecil yang bermain layang layang.
Aku berdiri dan menunggu dia berkata kata, namun hanya mataku dan matanya yang berpandangan. Lama sekali sampai ku pikir mungkin sudah berkali kali kuselami kebeningan matanya, tapi kata kata itu tidak juga muncul.
Lalu disaksikan pohon rambutan yang berdiri di ujung jalan , dia meraih tanganku. Merangsek maju hingga tak ada celah lagi antara aku dan dia.
Kulingkarkan tanganku di pinggangnya, setelah itu dia pun melakukan hal yang sama, melingkarkan tangannya di pinggangku.
Mata itu masih menatapku.
"Kalau kamu mencintaiku karena tubuhku, maka sekarang kau sudah memiliknya, tapi kalau kamu mencintaiku karena ingin memiliki hatiku, pergilah, temui laki laki yang sudah lama mencuri separuh hatiku. Lalu rebutlah, bawa padaku"
Tapi aku menolak pilihan itu."Aku tidak perlu mencari orang itu, karena akan kuberikan separuh hatiku untukmu. Bahkan semuanya, kalau kau mau"
Tidak ada jawaban. Aku pun tidak sedang menunggu jawaban.
Karena matanya
yang kemudian berbicara, menatapku lekat. Karena senyumnya yang
kemudian bercerita, terkembang sempurna.
Karena tangannya yang kemudian
membalasnya, merengkuh pinggangku erat.