Posted by Kumpulan Puisi - Kata Mutiara dan Kisah on 6 Desember 2012
KumpulanPuisi - HUJAN mulai turun rintik-rintik. Anwar masih berdiri tegak di pinggir pantai Malam merangkak diiringi deru ombak. Dia masih mengharapkan ayanya pulang menenteng ikan. Kerlip lampu nelayan di kejauhan menambah keyakinannya.
Tapi sebentar dia ragu. Sebenarnya dia datang ke pinggir pantai itu untuk tujuan ziarah. Tangannya gemetar, bunga dalam kantong plastik hitam yang ditentengnya basah.
Tangan kanannya dikepalkan. Sudah berkali-kali tangan itu mengambil kembang dalam kantong plastik. Sudah dibulatkan tekadnya untuk melempar kembang itu ke laut. Tapi kerlip lampu nelayan melemahkan tekadnya. Sekali saja dia mebenamkan kembang iu ke dalam laut, berarti dia membenamkan harapan kepulangan ayahnya.
Sampai matahari menyapanya dari ujung laut, kembang itu masih lekat dalam genggamannya. Silau matahari mendorongnya untuk segera pulang. Dia tidak berusaha menolak dorongan itu.
“Mengapa tidak kau taburkan bunga itu?” sapaan lembut ibunya menyadarkan dia dari lamunan panjang.
Ibunya berdiri tegak di dapan pintu rumahnya seakan menantangnya. Anwar seperti tidak perduli, dia masuk ke dalam rumah, ibunya mengikuti.
“Almarhum ayahmu tentu menantikan kiriman bunga itu semalaman. Kasihan dia,” ibunya menghilang ke balik dapur. “Hari ini kau tidak usah mencari ikan. Mukamu Nampak pucat, pikiranmu kacau.”
“Pikiranku memang kacau, Bu.” Anwar merebahkan badannya dib alai bambu, “ setidaknya sejak tadi malam.”
“Sejak kematian ayahmu pikiranmu memang sudah kacau,” suara ibunya dari balik dapur terdengar agak parau, “Sebagai anak seorang nelayan, musibah yang menimpa ayahmu seharusnya sudah kau perhitungkan.”
“Ibu menerima kematian ayah seperti kehilangan sebuah perahu kecil. Aku sangsi, apakah ibu juga mengharapkan seperti saya mengharapkan suatu saat ayah akan kembali. Dia akan datang membuka pintu belakang rumah kita. Menggantung beberapa ekor ikan besar di dapur. Dia tidak akan mengganggu mimpi kita. Lalu dia pergi lagi untuk mencari beberapa ekor ikan yang mungkin lebih besar dari itu. Kita lalu menyangka, mungkin ada orang iseng yang sengaja menaruh ikan di dapur sebagai rasa belesungkawa. Bu ……….. mengapa ibu diam?”
Anwar memusatkan pendengarannya ke dalam dapur. Tidak Nampak ada kegiatan disana. “Ibu menangis?” Tidak ada jawaban.
Dengan langkah gontai dia menghampiri ibunya di dapur. Dia melihat punggung ibunya bergerak-gerak. Nampaknya ibunya menahan isak tangis.
“Seharusnya kau kembali ke bangku kuliahmu. Tempatmu bukan disini. Kau bukan seorang nelayan,” Suara Ibunya tersendat-sendat. “Besok ibu akan bilang pada Mang Ihin agar dia tidak lagi mengajakmu ke laut.”
Anwar tidak ingin mengganggu ibunya. Dia berjalan ke pintu depan, di lorong depan rumahnya, beberapa bocah bertelanjang dada mengejar seekor kucing hitam. “Aku memang bukan nelayan,” gumamnya.
Sejak kecil ayahnya memang tidak menginginkan dia menjadi nelayan. Dia dikirim ke rumah pamannya di luar kota, bersekolah disana. Setamat SMA sebenarnya dia ingin menemani ayahnya barang satu atau dua tahun. Tapi ayahnya tetap menginginkan dia tetap melanjutkan sekolah.
Menginjak semester ketiga, musibah itu datang menghantam jiwanya. Ayahnya dikabarkan hilang dalam suatu musibah di laut lepas bersama lima nelayan lainnya. Tiga diantaranya dapat diketemukan mayatnya. Sudah hampir sebulan mayat ayahnya dan nelayan satunya lagi belum juga diketemukan.
Setelah merasa cukup buat bersedih dan mengurung diri dalam kamar, dia bermaksud akan membuat kuburan buat ayahnya. Ibunya menangis sejadi-jadinya. Dia baru saja delapan hari kehilangan suami, sekarang anaknya sudah berpikiran tidak waras. Dia merasa sebentar lagi akan kehilangan anaknya.
“Aku tidak gila , Bu,” katanya waktu itu. “Aku masih waras. Bagi ibu kuburan itu barangkali memang tidak terlalu penting. Ibu sudah menanam wajah ayah dalam hati ibu. Tapi ibu kan tahu , aku jarang bertemu dengan ayah. Aku khawatir, setahun kemudian aku sudah lupa bahwa aku pernah mempunyai seorang ayah. Lagi pula aku ingin terus berbakti kepada ayah. Aku ingin sering berziarah seperti layaknya orang berziarah. Itulah alasanku membuat kuburan untuk ayah . aku akan mengubur pakaian ayah dan beberapa benda kesayangannya. Agar aku benar-benar yakin bahwa ayah memang sudah benar-benar telah tiada untuk selam-lamanya. Tanpa kuburan itu, aku hanya merasa ayah cuma seperti sebentar saja. Atau dia cuma tersesat di jalan. Suatu saat pasti akan kembali. Lalu kalau pada kenyataannya ayah benar-benar telah meninggal, apakah aku harus menunggu kepulangan ayah sampai batas ajalku?”
Kalau saja Mang Ihin tidak mencegahnya, niat membuat kuburan tiu sudah dilaksanakannya. “Itu tidak baik, Jang anwar. Malah akan membuat aib keluarga. Ibumu akan ikut menanggung malu.”
Mang Ihin adalah teman karib ayahnya.
“Kau harus yakin, ayahmu sudah meninggal. Dia sudah tenang di alam baka. Dia tidak membutuhkan kuburan.” Kata ibuny suatu malam. “Kau harus kembali ke rumah pamanmu, kau harus kuliah.”
Hampir saja Anwar menghubung-hubungkan perkataan ibunya dengan kehadiran Mang Ihin, tapi dia tidak ingin melukai hati ibunya.
“Malam jumat besok, bawalah kembang, tebarkan ke laut agar hatimu benar-benar mantap. Dalam sebulan ini kau boleh ikut Mang Ihin mencari ikan, tapi setelah itu kau harus kembali kuliah.”
Seekor kucing hitam menerobos masuk ke dalam rumahnya membuyarkan lamunannya. Beberapa bocah bertelanjang dada berdiri malu-malu dihadapannya. Dengan sekali isyarat, bocah-bocah itu berlari berpencaran sambil tertawa riang. Dia menghampiri ibunya.ibunya sedang mengaduk kopi dalam cangkir. “Bu, aku akan berhenti kuliah. Setidaknya dalam setahun ini.” Cangkir kopi di tangan ibunya hamper saja jatuh ke tanah. “Anwar, kau semakin tidak waras saja!”
“Aku akan ikut Mang Ihin mencari ikan di laut. Aku memang tidak berbakat menjadi nelayan. Niatku memang bukan sekedar mendapat ikan. Aku hanya ingin ziarah, setiap aku melaut, setiap itu pula aku berziarah. Dan siapa tahu….” Anwar tidak melanjutkan kata-katanya. Dilihatnya mata ibunya berkaca-kaca.
“Anwar, ibu bicara untuk terakhir kalinya. Kembalilah ke bangku kuiahmu. Sebab itulah harapan ayahmu, berarti kau telah berziarah dengan penuh, setiap kau berangkat dan pluang kuliah, berarti kau berangkat dan pulang berziarah. Persoalan dulu ibu putus kuliah karena tertarik oleh seorang pemuda nelayan, Ayahmu itu, itu persoalan lain.”
Ibunya menyodorkan secangkir kopi yang sejak tadi dipegangnya. “ini persembahan ibumu untuk ayahmu. Dan sekarang ibu berikan kepadamu. Minumlah. Ibu tidak ingin lagi kau membantah.”
Anwar agak ragu menerimanya. Kopi itu rasanya pahit, tapi demi ibunya Anwar meminum juga.